Wednesday, June 8, 2011

Karakter seorang Pemimpin dalam Islam

Dalam Islam, seorang pemimpin disebut ra-is atau kepala. Tentu, bukan tanpa alasan jika ia disebut kepala, karena posisinya memang sepenting kepala bagi seorang manusia.
Juga ada istilah lain, ra-in atau penggembala. Seorang pemimpin diumpamakan seperti penggembala. Sedangkan rakyat diumpamakan sebagai “domba-domba” yang diatur dan dijaga. Tidak ada seorang pun penggembala di dunia ini yang punya niat mencelakakan gembalaannya.
Ada juga istilah lain, sulthan. Sulthan makna asalnya kekuatan. Seorang pemimpin memiliki kekuatan besar yang bisa dia gunakan untuk tujuan apa saja. Bila hati dan akalnya baik, kekuatan itu akan dipakai untuk menyebarkan kebajikan seluas-luasnya; kalau hati dan akalnya jahat, kekuatan akan dipakai untuk memuaskan kesenangan sendiri, tanpa mempedulikan nasib rakyat yang dipimpin.
Disini kita bisa memahami, betapa kuatnya kedudukan seorang pemimpin dalam kehidupan sebuah bangsa. Sederhananya, “Bila pemimpinnya beres, akan beres urusan rakyatnya. Bila pemimpinnya sakit, akan sakit pula urusan rakyatnya.”
Tidak berlebihan jika ulama-ulama Salaf dulu mengatakan, “Andaikan aku punya doa yang makbul, tentu akan aku doakan seorang pemimpin (agar bersikap lurus dalam kepemimpinan).” Jika seorang pemimpin baik, insya Allah rakyatnya akan baik pula. Maka mendoakan seorang pemimpin agar menjadi baik, sama dengan membuka jalan ke arah kebaikan-kebaikan yang sangat banyak.
"Kamu ya...! Gitu ya...! Kebun Binatang..."
Dalam masalah kepemimpinan ini, Nabi Saw pernah mengatakan, “Idza wussidatil amra li ghairi ahlihi, fantazhiru as sa-ah” (jika urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka nantikanlah as sa-ah). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah, saya baca di buku Fiqih Daulah karya Syaikh Al Qaradhawi.
Apakah As Sa-ah yang disebut dalam hadits di atas?
Makna yang paling mudah dari As Sa-ah adalah Hari Kiamat. Jadi, salah satu tanda semakin dekatnya Hari Kiamat ialah ketika amanah disia-disiakan. Amanah sebagai bagian dari nikmat Allah Ta’ala, bukan ditunaikan secara ihsan, bukan digunakan untuk kebaikan, bukan dimanfaatkan secara optimal; tetapi malah disia-siakan.
Dalam riwayat lain, disebutkan tanda-tanda Kiamat. Ketika itu, orang yang benar didustakan, orang pendusta dibenarkan; orang yang terpercaya dikhianati, para pengkhianat malah diberi kepercayaan.  Persis seperti kondisi bangsa kita saat ini. Orang-orang yang pro Syariat Islam dituduh sebagai teroris, sementara kaum “mafia” malah bebas memakai media untuk menyebarkan kedustaan ke seluruh penjuru dunia. Begitu pula, orang-orang yang jujur disingkirkan dari birokrasi, karena dianggap mengganggu sistem korupsi; sementara para pengkhianat bangsa malah mendapat posisi-posisi strategis. Allahu Akbar, laa haula wa laa quwwata illa billah.
Tetapi hadits tersebut juga bisa dipahami secara umum. As Sa-ah dipahami sebagai kehancuran. Jadi, apabila amanah diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, nantikanlah kehancuran. Pemaknaan seperti ini juga benar. Bahkan dalam dunia modern, sebelum memilih seorang pemimpin, ada kaidah fit and proper. Fit artinya, memilih orang yang sehat lahir batin, baik moralitas, dan memiliki keahlian handal. Proper, artinya menempatkan orang itu sesuai bidangnya, sesuai keahlian, sesuai dengan kebutuhan kepemimpinan. Kalau memilih pemimpin yang salah, dalam konteks manajemen apapun, pasti akan berbuah kehancuran.
Contoh nyata, tahun 1999 sebenarnya bangsa Indonesia masih didera Krisis Multi Dimensi. Saat itu sangat dibutuhkan pemimpin yang kuat, handal, dan terpercaya. Tetapi sayang, bangsa kita malah memilih pemimpin yang salah. Secara indera, dia tak bisa melihat; secara fisik, mengalami kelumpuhan akibat strooke; dari sisi birokrasi kenegaraan tidak punya pengalaman; bahkan secara sosial sering memicu kontroversi. Akibatnya sudah pasti, bangsa ini terjerumus lagi ke dalam Krisis Multi Dimensi yang baru saja hendak dilewati. Ketika itu, malah bangsa ini hendak mengalami kehancuran lebih parah, akibat merebaknya semangat separatisme. Sejak itu sampai saat ini, bangsa kita belum mampu benar-benar pulih dari Krisis Multi Dimensi. Inilah akibatnya kalau memilih orang yang tidak memiliki keahlian dan kemampuan, alias ghairu ahliha.
Sangat penting bagi kita untuk menakar keahlian seorang pemimpin. Bila seseorang yang memimpin bangsa ini tak memiliki keahlian, akibatnya sangat buruk; bangsa kita akan terjerumus dalam kesulitan kolektif.
Juga sangat diingatkan kepada partai-partai Islam (partai komunitas Muslim), agar dalam memilih pemimpin, baik pemimpin di pusat atau di daerah, mereka menjadikan tolok-ukur keahlian sebagai acuan utama. Tidak masalah, bukan orang dari partai sendiri yang memimpin, asalkan dia terpercaya, ahli, dan bermoral. Jangan sampai, partai-partai itu berebut posisi jabatan kepemimpinan, sedangkan mereka sendiri tidak bisa memberi jaminan terhadap kualitas pemimpin yang mereka ajukan. Jika seperti itu, akibatnya ialah: menyengsarakan kehidupan rakyat luas! Dan hal itu merupakan KEZHALIMAN besar yang akan dituntut sampai di Hari Akhirat nanti.
Masalah rakyat lebih utama dari masalah partai. Rakyat cakupannya jauh lebih luas, lebih komplek, dan lebih riil ketimbang keadaan partai itu sendiri. Urusan rakyat harus dinomor-satukan, bukan urusan partai sendiri. Lebih baik orang partai tidak memimpin birokrasi, kalau akibatnya bisa menyengsarakan rakyat; daripada dia memimpin,  tetapi akibatnya merajalela kerusakan lahir bathin.
Bahkan sangat baik, sebuah parati abstain dari memilih seorang calon pemimpin, kalau dia tidak yakin dengan kebaikan calon itu. Berhati-hati dalam memilih sama dengan menyelamatkan kehidupan masyarakat luas dari diterkam oleh pemimpin-pemimpin jahat yang tidak berhati manusia.
Bawahan Menjauh, Takut Kena "Hujan"
Lalu bagaimana dengan keadaan bangsa kita kini? Pernahkah Anda bertanya, “Apa sih kelebihan pemimpin yang saat ini memimpin bangsa kita? Adakah keutamaan, keistimewaan, atau kekuatannya?”
Pertanyaan seperti ini pernah saya ajukan ke seorang wartawan, dalam sebuah perjalanan kereta api dari Jawa Timur ke Bandung. Kemudian bapak wartawan itu menjawab dengan tegas, “Tidak ada! Dia tidak punya kelebihan apapun.” Kurang-lebih seperti itu jawaban beliau. Jawabannya pendek, jelas, tidak multi tafsir.
Memang kalau direnungkan, pemimpin nasional Indonesia saat ini memang tidak memiliki kelebihan atau keistimewaan tertentu. Kalau kepemimpinan itu diberi poin, mungkin layak mendapat angka 3. Dalam kondisi banga sedang dirundung aneka masalah, pencapaian angka 7 saja belum mencukupi, apalagi angka 3?
Disini kita layak berhitung, menganalisa bobot kualitas seorang pemimpin. Hal ini sangat penting dilakukan, untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat dari kehancuran yang Rasulullah Saw sampaikan itu.
Pertama, dari sisi keahlian teknologi, strategi pembangunan, atau kapasitas keilmuwan, tidak ada yang bisa disebut. Gelarnya memang doktor, tetapi tidak tahu sejauhmana nilai gelar itu dari sisi keilmuwan?
Kedua, dari sisi ketegasan, keberanian menantang resiko, keberanian di area pertempuran, keberanian menerjuni konflik, kewibawaan sebagai pemimpin bangsa besar, juga tidak ada. Yang tampak di depan mata, adalah seni berpidato dari satu mimbar ke mimbar.
Ketiga, dari sisi keahlian retorika publik, juga tidak ada. Pidatonya terlalu formalistik, tidak dekat dengan nafas rakyat, seperti yang dulu mampu dilakukan pemimpin Orde Baru. Begitu pula, pidatonya datar-datar saja, tidak mendidik keberanian rakyat, seperti keahlian orasi pemimpin Orde Lama. Pidato-pidatonya terkesan kering, berbeda dengan pidato pemimpin -mantan Menristek-, yang memang kaya gagasan dan inspirasi.
Keempat, dari sisi penguasaan dunia militer, juga minim. Meskipun dididik dalam institusi kemiliteran, tetapi intuisinya sebagai prajurit, jiwanya sebagai kombatan, atau naluri tempurnya tidak tampak. Hampir tidak ada aspek-aspek kemiliteran yang bisa dibanggakan.
Kelima, dari sisi keahlian organisasi, juga tidak ada yang istimewa. Banyak pejabat, termasuk dari partainya sendiri, diangkat karena kedekatan kekerabatan dengannya. Sekjen sebuah partai dipilih dari anak sendiri, dengan tujuan untuk mewariskan tongkat kekuasaan ke keluarga sendiri.
Keenam, dari sisi seni perpolitikan juga kurang. Indikasinya mudah, orang-orang yang dulu pernah satu barisan politik dengannya, kemudian banyak yang menjadi “musuh politik”. Mantan Menkumham, yang dulu menjadi sponsor politiknya, kini mengancam dia dengan pesan “impeachment”. Hal ini hanya menjelaskan, betapa keahlian politik tokoh satu ini sangat kurang. Banyak orang berebut mendekat kepadanya, lebih karena mencari cipratan materi dan kuasa.
Ketujuh, dari sisi ilmu pertanian atau gagasan-gagasan pembangunan pangan, sebab bangsa kita memang bangsa agraris, juga tidak memadai. Padahal gelar doktornya diambil di bidang Sosial Ekonomi Pertanian. Masyarakat kita sebagai masyarakat petani, peternak, nelayan, dll. seperti diabaikan posisinya. Sayang sekali.
Kedelapan, dari sisi keahlian dan pengetahuan di bidang ekonomi, juga lebih parah lagi. Indikasinya mudah, tentang pencabutan subsidi BBM, kenaikan harga BBM, kasus Bank Century, penyelesaian skandal BLBI, kebijakan konversi gas, hengkangnya Sri Mulyani ke Bank Dunia, Indonesia masuk forum CAFTA, dll. Semua itu mengindikasikan bahwa yang bersangkutan kurang paham masalah ekonomi.
Kesembilan, dari sisi penguasaan politik luar negeri, lebih parah lagi. Kasus Ambalat, pelanggaran wilayah perbatasan, terbunuhnya seorang mahasiswa Indonesia di Singapura, pelecehan perbatasan oleh nelayan-nelayan Timor Leste, pelecehan oleh Australia terkait masalah imigran gelap yang terdampar di Indonesia, kasus terorisme global, posisi dalam konflik Palestina-Isarel, dll. Tidak ada yang bisa diandalkan.
Kesepuluh, dari sisi pengertian hukum, pendalaman aspek-aspek birokrasi, serta implementasi UU dalam kehidupan negara dan politik, nilainya sangat buruk. Contoh kasus, skandal Bank Century tidak jelas; Sri Mulyani dibajak oleh Bank Dunia; pembentukan tim delapan yang digugat asosiasi advokat; bahkan yang terakhir, ialah pencopotan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung. Semua ini amat negatif nilainya.
Kesebelas, dari sisi pengetahuan agama, juga kurang. Ya, tidak ada yang bisa diandalkan, selain ucapan seperti “Assalamu’alaikum”, “Alhamdulillah”, “Insya Allah”, dan lainnya yang kadang menghiasi pidato-pidato. Tetapi untuk keahlian seperti itu, sejak masih TK anak-anak kita sudah diajari.

No comments:

Post a Comment